“ Angka cepuluh, nich yeeeee….” masih terngiang olokan adekku tadi sore. Mbak Vita, kakak perempuanku yang mendengar waktu itu pun ikut senyum-senyum, sementara ibu yang menegur adikku tampak sekali untuk tidak terpancing dengan situasi yang ada. Aku hanya cemberut tanpa bisa berkata apa-apa.
Postur tubuhku memang lumayan semampai, dengan tinggi 165 cm dan berat badan 54 kg. Sedangkan suamiku bertubuh gemuk dengan tinggi badan 155 cm. Seringkali ada rasa malu yang menghinggapiku jika harus berjalan berdua. Jika bepergian bersama, aku lebih memilih naik sepeda motor dibanding naik kendaraan umum. Acapkali aku merasa tak nyaman dengan pandangan orang-orang.
Hari Ahad besok ada undangan walimah di tempat saudara sepupu. Sebenarnya aku sangat senang karena kemungkinan besar bakal berjumpa dengan saudara-saudaraku yang sudah cukup lama tak bertemu, akan tetapi aku mendadak jadi badmood. “ Adek sayang, motornya belum sempat diservis. Tadi pagi remnya kurang makan. Besok kita naik angkot aja ya,” suamiku berkata penuh kelembutan.
“ Ga mau, ah… Pokoknya naik motor aja. Lagian ngapain juga motornya ga dikasih makan sampe kenyang,” aku menjawab seenaknya. Terbayang di benakku orang-orang yang memandang aneh dan berbisik-bisik karena melihat kami.
“Ayolah Kak, bawa ke bengkel sekarang aja. Paling-paling cuma beberapa menit dah beres lagi. Kalo naik angkot kan lebih lama,” kataku kemudian sambil merajuk.
“Iya-iya, tapi jangan lupa siapin jahe hangatnya ya. Dah mendung banget, sepertinya bentar lagi bakal turun hujan.”
“Baik, Kakak sayaaaaang,” senyumku pun mengembang. Lega rasanya karena besok tidak jadi naik angkot.
~~@~~
Di tengah perjalanan, aku dikejutkan dengan pemandangan yang luar biasa. Mataku yang waktu itu mulai mengantuk tiba-tiba terbelalak. Tampak sepasang suami istri yang sangat mesra. Sang istri menggamit erat lengan suaminya. Bukan hanya kemesraannya yang mengagetkanku tetapi postur tubuh sepasang sumi istri itu yang tak jauh berbeda dengan kami, bahkan suaminya jauh lebih gemuk dibanding suamiku.
Belum habis keterkejutanku, tiba-tiba suamiku menghentikan motornya. “Assalamu’alaikum…,” sapa suamiku.
“Wa’alaikum salam… Waaaaah, lama tak jumpa,” dia menjabat erat tangan suamiku sementara istrinya mengangguk dan tersenyum padaku. Ternyata orang itu adalah sahabat suamiku, Andri Priyatna yang biasa diceritakan tapi baru saat ini aku berkesempatan bertemu beliau dan istrinya. Aku pun berkenalan dan berbincang akrab dengan Yuni, istrinya yang sebaya denganku.
~~@~~
Alhamdulillah hari ini aku libur sedangkan suamiku ada acara dadakan di kantornya. Terpikir untuk berkunjung ke rumah mbak Yuni. Kutelpon suamiku, “ Assalamu’alaikum, Kakak. Di rumah sepi banget, bolehkah adek silaturahmi ke tempat mbak Yuni?”
“Wa’alaikum salam waramah. Mbak Yuni yang mana ya?” suamiku malah balik bertanya.
“Aduuuhh kakaaaaak… Itu lho mbak Yuni istrinya mas Andri, sahabat kakak,” jawabku gemes.
“Ooo… hehehe… iya, maaf kakak lupa. Maklumlah, Cuma ada satu wanita manis yang paling kakak ingat. Anne Susanti tersayang. Adek sudah punya alamat rumahnya atau belum?”
“ Kakak lebay, hehehe… Udah dong Kak. Adek berangkat dulu ya. Assalamu’alaikum, Kakak sayaaang,” penuh riang kujawab pertanyaan suamiku.
“Wa’alaikum salam warahmah, hati-hati Dek. Pulangnya jangan terlalu sore ya,” pesan suamiku.
“Iya, Kak. Terima kasih,” segera kuakhiri pembicaraan. Mumpung belum terlalu siang, aku segera bergegas mengayun langkah ke luar rumah.
~~@~~
Alhamdulillah sampai juga. Butuh sekitar tiga puluh menit hingga tiba di rumah kontrakan mbak Yuni. Tak ada halaman, hanya teras kecil yang dipakai untuk berjualan gorengan. Kontrakannya pun tidak luas, berbeda sekali dengan rumah kontrakan kami yang jauh lebih luas dan asri.
Kulihat mbak Yuni sedang sibuk melayani pembeli. Kutunggu beberapa saat hingga mulai sepi dan kuucapkan salam. Dia segera menjawab salam dan menyambut kehadiranku.
“Maaf ya mbak An, jadi sungkan nich. Koq ga kasih kabar kalau mau ke sini. Ayo masuk dulu,” tersungging senyum manisnya.
“Ga pa-pa mbak, aku yang minta maaf. Jadi merampas waktu mbak Yuni,” gantian aku yang merasa sungkan.
“ Mbak Anne, kaya’ nemuin siapa aja sich. Aku ini cuma penjual gorengan bukan pejabat atau politisi yang super sibuk, hehehe,” kelakar mbak Yuni mencairkan suasana.
Cukup lumayan lama kami berbincang tentang banyak hal. Hingga tiba-tiba terdengar suara orang mengucapkan salam. Serentak kami menjawabnya. Kulihat mbak Yuni segera mematut diri. Wajahnya tampak sangat riang. Segera disambutnya lelaki itu, yang tak lain adalah suaminya. Penuh takzim dia cium tangan suaminya.
“Sepertinya Abang capek sekali, Yuni bikinin es teh dulu ya,” diusapnya peluh yang menetes di dahi suaminya.
“Iya dek, tadi salah satu ban gerobaknya pecah, makanya Abang pulang lebih awal. Maaf ya dek, baksonya belum banyak yang kejual. Insya Allah habis dzuhur Abang betulin dulu,”
“Ga pa-pa, Bang. Yang penting Abang baik-baik saja. Soal bakso kan bisa dijual besok lagi,” tampak senyum ketulusan di wajah mbak Yuni.
“Eh, ada tamu. Maaf mbak. Saya permisi ke dalam dulu ya,” suami mbak Yuni tampak sungkan karena tak menyadari kehadiranku di situ. Beliau segera masuk kamar.
Belum sempat aku menjawab, mbak Yuni sudah berkata,”Astaghfirullah, mohon maaf ya mbak Ann, sampai dianggurin kaya gini.”
“Ngga pa-pa kok mbak, kebetulan juga saya mau pamit. Sekalian mau belanja kebutuhan rumah. Terima kasih ya mbak, sudah meluangkan waktu untuk saya. Kalau mbak Yuni ada waktu, silaturahmi ke tempat saya ya,” aku beranjak dari tempat dudukku dan menyalaminya.
“Jangan kapok ya, insya Allah saya akan ke sana. Terima kasih sudah berkenan datang ke sini,” tersirat kesungguhan dalam kata-katanya.
“Sama-sama, Mbak. Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikum salam,” diantarnya aku hingga di teras kecilnya.
~~@~~
Matahari makin terik ketika kulangkahkan kaki menuju rumah. Sambil berjalan, kuingat kejadian-kejadian di tempat mbak Yuni. Banyak hikmah yang kupetik dari silaturahmi tadi. Aku merasa malu sekali pada diriku sendiri. Selama ini aku tak pernah bersikap seperti itu.
Mulai saat ini, aku, Anne Susanti akan berubah menjadi istri yang benar-benar manis. Tidak akan mudah merajuk lagi dan bersyukur dengan segala keadan suamiku.
“I love you, Kakak. Sudah semestinya aku bangga mempunyai suami yang begitu perhatian dan sabar seperti engkau,” kataku dalam hati.