“Aku tidak mencintainya Ibu..”
“Bukan tidak, tapi belum, karena engkau belum mengenalnya anakku.”
“Tapi dia bukan wanita impianku, pakaiannya tidak Islami, dan aku belum tahu pribadinya karena Ibu benar, aku memang belum mengenalnya.”
“Ibu mengenalnya, Ibu memintamu… menikahlah dengannya, berkenalanlah dengannya, kenakanlah pakaian Islami kepadanya, bentuklah pribadinya menjadi yang terbaik, dan Ibu berdoa… Insya Allah engkau akan bahagia bersamanya.”
Sudah 16 tahun berlalu, dialog ini masih kuat kuingat. Waktu itu Ibuku membawa foto seorang gadis, anak dari teman akrabnya. Ibuku bercerita tentang latar belakang hubungannya dengan teman akrabnya tersebut yang mereka bina sejak kecil, hingga menitahkan aku untuk menikahi putri temannya itu.
Jujur, terlepas dari alasan apapun tidak akan ada laki-laki normal yang sanggup menolak kecantikan wajah dari sosok gadis di dalam foto itu dan bentuk tubuh yang tidak berlebihan jika kukatakan sempurna. Namun penolakanku sangat manusiawi dan beralasan jika ditinjau dari sudut perasaanku, aku belum mengenal dia. Jika dilihat dari lahiriahku, cara berpakaiannya sangat jauh dari nilai-nilai yang selama ini secara dogmatis kupelajari di pondok pesantren, sementara aku, kemana-mana memakai baju koko dan kopiah kesayanganku.
Aksioma Ibuku, dan kepatuhan utuh dari seorang anak kepada orang tuanya membuat pernikahan itu benar-benar terjadi. Dan egoisnya perasaanku akhirnya benar-benar membuat aku tersiksa hidup bersama wanita yang tidak pernah aku bayangkan kehadirannya, bahkan konon aku cintai.
Tahun pertama rumah tangga kami adalah tahun paling berat bagiku. Bersabar untuk melaksanakan titah orang tua, berjuang untuk menumbuhkan rasa cinta, dan berusaha untuk menyadari fakta bahwa aku seorang kepala rumah tangga.
Namun tiga hal ini memang sungguh berat bagiku, dan aku tidak kuasa untuk menyembunyikannya. Setiap saat aku selalu mencari-cari alasan untuk bertengkar dengan istriku, setiap hari aku selalu mengorek kekurangan istriku, fatwa terberat yang selalu kuterbitkan baginya adalah soal berjilbab. Permasalahan yang kukembangkan pada permukaan akalku mencapai puncaknya ketika tepat tiga bulan usia pernikahan kami istriku hamil, dan ironisnya aku tidak merasa bahagia dengan berita ini. Aku semakin kuat mengibarkan bendera perang kepada musuh yang sebenarnya tidak pernah berdaya untuk melawanku.
Anehnya, satu sikap perlawananpun tidak pernah ditunjukan istriku kepadaku. Setiap masuk waktu shalat, dengan sigap dia mendahuluiku untuk dijadikan makmum. Setiap aku membaca Al Qur’an, dengan setia dia menemaniku dan bahkan sesekali ikut membacanya, yang terus terang hatiku dibuat sedikit kagum dengan ketepatan makhrajnya. Setiap aku mendirikan tahajud, dengan ikhlas dia ikut bangun dan shalat bersamaku, padahal sengaja tidak pernah aku bangunkan. Setiap waktu sahur di bulan Ramadhan, dengan disiplin dia memasak dan menyiapkan makanan, lalu membangunkan aku. Pokoknya alasan untuk bertengkar yang setiap saat aku cari tidak pernah dia ladeni, naskah fatwa yang telah kukonsep sejak tengah malam selalu dia baca pada pagi harinya dengan secuil senyum manis, bendera perang yang semakin kuat kukibarkan selalu dia turunkan dengan lembut. Dan yang paling luar biasa, sikap seperti ini sebagian besar ditunjukannya sepanjang usia kehamilannya.
Memasuki tahun kedua aku dibuatnya semakin tersudut. Pada suatu pagi ketika aku akan berangkat kerja, setelah semua keperluanku dia siapkan, dia bicara, “Mas, aku ingin berjilbab. Maukah Mas mengajariku untuk istiqomah?” Dueeeerrrrrr !!! Sepertinya ada suara ledakan di kepalaku, kaget, tidak percaya, bahagia, dan yang pasti, bingung! “Bercanda kamu..” Kataku berusaha dingin. “Insya Allah aku serius, jujur… selama ini aku malu sama Allah dan sama Mas, aku seperti tidak pernah berusaha menjadi hambaNya dan mengimbangi Mas sebagai istri. Namun bagiku itu sebuah proses… dan aku sangat berterima kasih kepada suamiku yang telah memberi kesempatan dengan tidak menekan aku, selama aku melewati proses panjang ini.” Hohoho… kontan rona mukaku dibuatnya merah, “tidak pernah menekan” katanya, padahal untuk urusan kalimat yang satu ini adalah yang selama ini paling giat aku ucapkan hingga perlu bersusah payah membuat naskah fatwa untuknya, tapi dengan ringannya dia mengatakan aku manusia paling baik dan bijak di matanya? Wah.. waaahhh… ini ngolok atau memuji?
Malam itu, malam yang teramat berarti bagiku, malam yang sangat bermakna ketika seorang suami menunaikan kewajiban terhadap istrinya. Aku tersenyum sendiri, kenapa aku baru menemukan perasaan ini ketika sudah mempunyai anak? Kuangkat wajahku tepat di atas wajah istriku, kami saling bertatapan, dalam di lubuk hatiku ada rasa bahagia, bola mataku begitu jelas mamandang keindahan sinar rembulan tepat berada di depanku dan aku semakin takjub dibuatnya, padahal selama ini pemandangan itu kukira hanya gumpalan awan hitam yang terkena bias cahaya bintang. “Subhanallah… apakah telah Engkau perkenankan doa Ibuku Ya Allah?”
Aku memandang kosong kearah pekarangan, jiwaku berkecamuk, kepalaku penuh memikirkan kondisi pekerjaan yang setahun terakhir ini telah mencapai titik nadir. Tawa riang ketiga anakku tidak membuat aku beranjak dari kursi untuk menemani mereka bermain. Hatiku gundah, galau, dan resah. Kutangkap dari sudut mataku, istriku menghampiriku membawakan segelas teh hangat dan sepiring makanan ringan. Senyum manisnya kusambut dengan kalimat pendek, “Ajari aku sabar Istriku…”