Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri. MA
Alhamdulillah. Salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Anda ingin sukses di dunia usaha? Anda ingin merintis kerajaan bisnis? Namun, sudahkah Anda memiliki modal yang cukup untuk mewujudkannya?
Saudaraku, Anda tidak usah berkecil hati …. Walaupun saat ini Anda tidak memiliki modal sedikit pun, cita-cita Anda ini lumrah dan wajar. Mungkin, dalam waktu dekat, cita-cita ini akan benar-benar menjadi kenyataan!
Ketahuilah, Saudaraku. Betapa banyak pengusaha sukses nan kaya-raya yang merintis keberhasilannya dari tangan hampa.
Tatkala sahabat Abdurrahman bin ‘Auf hijrah dari kota Mekkah ke Madinah, beliau dipersaudarakan dengan seorang kaya-raya yang bernama Sa’ad bin Ar-Rabi’ Al-Anshari. Pada suatu hari, Sa’ad menawarkan separuh harta kekayaannya kepada Abdurrahman bin Auf. Akan tetapi, Abdurrahman menolak dan berkata, “Semoga Allah memberkahi keluarga dan harta kekayaanmu. Tunjukkan saja letak pasar kepadaku.” Tidaklah Abdurrahman hari itu pulang ke rumah, kecuali setelah dia berhasil membawa pulang keuntungan berupa susu kering dan minyak samin. Tidak selang beberapa lama, Abdurrahman menikahi wanita Anshar dengan mas kawin berupa emas sebesar biji kurma. (Riwayat Bukhari)
Semoga kisah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menginspirasi Anda untuk segera mulai menorehkan kesuksesan dalam dunia bisnis.
Hanya saja, tidak dapat dipungkiri, sering kali hati kita senantiasa diselimuti keraguan dan tanda tanya: Bagaimana saya memulai bisnis, sedangkan saya tidak memiliki cukup modal? Apakah saya harus berutang ke perbankan, padahal setiap perbankan mempersyaratkan adanya bunga dalam jumlah tertentu?
Yakinlah, Saudaraku! Banyak jalan untuk mewujudkan impian Anda, walaupun Anda tidak memiliki cukup modal dan tidak menginjakkan kaki di perbankan.
Melalui tulisan sederhana ini, saya mengajak Anda untuk menemukan jawabannya, dengan tanpa menginjakkan kaki walau hanya di halaman perbankan, dan tanpa memberikan bunga satu rupiah pun kepada orang lain.
Berikut ini adalah beberapa alternatif yang dibenarkan dalam syariat Islam. Anda dapat memilih satu darinya, yang paling sesuai dengan diri Anda.
1. Akad mudharabah
Untuk dapat menjalankan opsi ini, Anda hanya membutuhkan satu hal, yaitu keahlian. Bila Anda telah memiliki suatu keahlian maka selanjutnya carilah seseorang yang memiliki kelapangan dalam harta benda. Yakinkan beliau bahwa dengan keahlian yang Anda miliki, Anda layak untuk mendapatkan kepercayaan untuk mengelola dananya, dengan ketentuan bagi hasil.
Imam Al-Marghinani Al-Hanafi berkata, “Akad mudharabah itu dihalalkan karena (akad tersebut) benar-benar diperlukan oleh umat manusia. Di antara manusia ada orang-orang yang memiliki harta kekayaan melimpah, tetapi ia tidak pandai untuk mengelolanya. Sebaliknya, di antara mereka ada orang-orang yang lihai mengelola kekayaan, namun mereka miskin, tidak memiliki modal untuk memulai usaha. Dengan demikian, pensyariatan transaksi semacam ini termasuk hal yang sangat mendesak, agar kemaslahatan kedua belah pihak, yaitu orang yang kaya (tetapi tidak berpengalaman) dan orang yang cerdik (tetapi tidak memiliki modal), orang yang miskin (tetapi lihai) dan orang yang dungu (tetapi kaya) dapat terwujud.” (Al-Hidayah Syarah Al-Bidayah oleh Al-Marghinani Al-Hanafi, 3:202; Al-Hawi Al-Kabir oleh Al-Mawardi, 7:307; Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 7:134)
Bila pilihan Anda jatuh pada opsi ini maka perlu diingat bahwa pada akad mudharabah, unit usaha yang Anda jalankan adalah milik pemodal. Adapun Anda, sebagai pelaku usaha, hanya berhak mendapatkan bagian dari keuntungan usaha sebesar persentase yang telah disepakati.
Mungkin Anda berkata, “Bila demikian adanya, pemodal mendapatkan keuntungan yang terlalu besar bila dibandingkan dengan keuntungan pelaku usaha.”
Saudaraku, Anda tidak perlu berkecil hati, karena keuntungan pemodal itu setimpal dengan risiko yang membayanginya. Bila usaha yang Anda jalankan merugi maka kerugian itu, sepenuhnya, menjadi risiko pemodal, asalkan kesalahan itu tidak Anda sengaja dan bukan karena keteledoran Anda. Setimpal, bukan?
Dunia internasional telah membuktikan bahwa akad mudharabah benar-benar efektif dalam menggerakkan perkonomian masyarakat. Sebagaimana ketentuan akad ini benar-benar menguntungkan kedua belah pihak.
2. Membeli barang dagangan dengan pembayaran terutang
Di antara pilihan yang dapat Anda ambil untuk memulai bisnis tanpa modal lainnya adalah dengan membeli barang dengan pembayaran terutang hingga batas waktu tertentu. Dengan demikian, selama batas tempo yang disepakati, Anda bisa memasarkan barang dagangan Anda ini. Bila Anda bekerja keras dan lihai dalam memasarkan barang maka, tentu sebelum tempo pembayaran jatuh, Anda telah berhasil menjual seluruh barang atau sebagian besarnya.
Membeli barang dengan “pembayaran terutang hingga batas yang tertentu” semacam ini dibenarkan dalam Islam. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melakukannya. ‘Aisyah mengisahkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli sejumlah bahan makanan dari seorang pedagang Yahudi dengan pembayaran terutang hingga tempo tertentu, dan beliau menggadaikan perisai besi kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hanya saja, perlu diingat, bila opsi ini menjadi pilihan Anda maka Anda perlu ekstra selektif dalam memilih barang dagangan. Pertimbangkan mutu dan harga barang serta minat dan daya beli masyarakat. Dengan memperhatikan beberapa hal tersebut, Anda–dengan izin Allah–akan mudah memasarkan barang dan segera mendapatkan uang guna melunasi utang Anda.
3. Akad salam
“Akad salam” ialah ‘akad pemesanan barang atau jasa dengan pembayaran tunai di muka, sedangkan barang diserahkan setelah tempo waktu tertentu yang disepakati’.
Bila Anda adalah seorang produsen suatu barang atau seorang pedagang, opsi ini sangat berguna bagi Anda. Betapa tidak, Anda mendapatkan modal segar, sedangkan Anda memiliki kelapangan waktu dalam memenuhi barang pesanan.
Pada suatu hari, Muhammad bin Abil Mujalid bertanya kepada sahabat Abdullah bin Abi Aufa: apakah dahulu para sahabat semasa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memesan gandum dengan pembayaran tunai di muka? Sahabat Abdullah bin Aufa pun menjawab, “Dahulu, semasa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami memesan gandum, sya’ir (gandum mutu rendah), dan minyak zaitun dalam takaran tertentu dan hingga batas waktu tertentu pula, dari para pedagang negeri Syam dengan pembayaran di muka.”
Selanjutnya, Muhammad kembali bertanya, “Apakah kalian memesannya hanya kepada para pedagang yang benar-benar memiliki ladang?” Sahabat Abdullah bin Aufa kembali menjawab, “Kami tidak pernah bertanya tentang itu kepada mereka.” (Riwayat Imam Bukhari)
Bila Anda cermati hadis ini, niscaya Anda menemukan kelapangan yang begitu luas. Anda bisa menjalin akad salam, walaupun Anda bukan seorang produsen, petani, atau peternak. Yang diperlukan pada akad salam hanyalah komitmen Anda untuk mendatangkan barang sesuai dengan kriteria dan batas waktu yang telah disepakati.
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menuturkan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, didapatkan bahwa penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua atau tiga tahun. Mengetahui kebiasaan ini, beliau bersabda, ‘Barang siapa yang memesan sesuatu maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah disepakati (oleh kedua belah pihak), timbangan yang telah disepakati, dan hingga tempo yang telah disepakati pula.‘” (Muttafaqun ‘alaih)
Saudaraku, akad salam ini membuktikan kepada Anda bahwa syariat Islam benar-benar menjaga dan merealisasikan kemaslahatan umatnya. Betapa tidak, banyak dari petani, peternak, dan produsen yang mengalami kesulitan pembiayaan agar bisa menyelesaikan produksinya dengan mutu yang bagus. Juga, sudah barang tentu, adanya akad salam semacam ini sangat menguntungkan mereka. Mereka mendapatkan dana segar tanpa berkewajiban membayar bunga sedikit pun!
Adapun para pemilik modal, mereka juga mendapat keuntungan besar; bukan hanya satu, bahkan dua keuntungan sekaligus:
1. Mendapatkan barang dengan harga murah.
2. Jaminan mendapatkan pasokan barang dagangan. (Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 6:385; I’lamul Muwaqqi’in oleh Ibnul Qayyim, 2:20)
4. Akad istishna’
Akad istishna’ ialah akad yang dijalin antara seorang pemesan (sebagai pihak pertama) dengan seorang produsen suatu barang (sebagai pihak kedua), agar pihak kedua membuatkan suatu barang dengan kriteria yang diinginkan oleh pihak pertama, dengan harga yang disepakati antara keduanya. Akad ini termasuk salah satu akad yang dibenarkan dalam Mazhab Hanafi. (Bada’i Ash-Shana’i oleh Al-Kasani, 5:2; Al-Bahrur Ra’iq oleh Ibnu Nujaim, 6:185)
Banyak ulama Mazhab Hanafi yang telah menyatakan bahwa akad istishna’ ialah akad jual beli biasa. Hanya saja, akad ini disertai syarat agar penjual mengolah bahan mentah itu menjadi barang olahan tertentu. (Al-Mabsuth oleh As-Sarakhsi, 12:139 dan 15:84–85; Bada’i Ash-Shana’i oleh Al-Kasani, 5:3)
Sebagai konsekuensi ketentuan ini, pembayaran pada akad ini dapat dilakukan dengan cara utangan hingga batas waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak (produsen dan pembeli).
Bila Anda adalah seorang pedagang maka dengan menjalin akad ini, Anda memiliki kelapangan dalam hal pembayaran. Oleh karena itu, Anda dibenarkan untuk membuat kesepakatan dengan produsen bahwa pembayaran dilakukan sekian waktu setelah barang diterima.
Saudaraku, betapa banyak saudara-saudara kita yang memiliki keahlian memproduksi berbagai barang. Hanya saja, mereka tidak memiliki keahlian untuk memasarkan produksinya. Tidakkah Anda merasa terpanggil untuk menjembatani usaha mereka, sehingga produk-produk mereka dibeli oleh konsumen dan dikenal oleh masyarakat?
Banyak dari saudara kita tersebut yang rela dan puas dengan pembayaran di belakang, asalkan mereka mendapatkan kepastian bahwa produk mereka terjual dan mereka mendapatkan hasil penjualannya.
Karenanya, walaupun Anda tidak memiliki modal, asalkan Anda mampu meyakinkan para pengrajin dan selanjutnya lihai dalam memasarkan barang, Anda dapat merintis kerajaan bisnis Anda.
Terlebih-lebih, bila Anda memiliki sedikit modal yang dapat dijadikan sebagai uang muka, tentu itu semakin meyakinkan para pengrajin untuk menyalurkan produknya kepada Anda.
5. Serikat dagang
Betapa banyak peluang dagang dan produksi yang masih terbuka bagi Anda. Hanya saja, banyak dari peluang tersebut yang membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit, sehingga Anda merasa tidak mampu bila harus merintis perdagangan atau produksi itu seorang diri. Untuk menyiasati keterbatasan ini, syariat Islam membenarkan Anda untuk menggandeng pengusaha lain, guna bersama-sama mendanai dan menjalankan bisnis atau produksi tersebut.
Dengan berserikat, tentu berbagai potensi yang dimiliki oleh masing-masing sekutu bersatu, sehingga peluang untuk sukses semakin terbuka lebar. Sebaliknya, peluang kerugian menyempit serta, dan kalaupun terjadi, maka terasa lebih ringan.
Bila opsi ini yang penjadi pilihan Anda maka hendaknya Anda selektif dalam memilih sekutu dagang. Pilihlah seorang sekutu dagang yang beriman, bertakwa, rajin beribadah, dan memiliki amanah yang tinggi. Ingatlah selalu firman Allah ta’ala berikut,
إِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ
“Sesungguhnya, kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu, sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shad: 24)
Saudaraku, janganlah mudah hanyut dengan penampilan dan kata-kata manis seseorang. Sebelum Anda menjalin serikat dagang dengan seseorang, hendaknya Anda menelusuri kepribadiannya lebih mendalam, tanpa harus berburuk sangka dengannya. Mungkin, kisah berikut ini dapat menjadi cermin bagi Anda dalam mengukur kepribadian orang yang hendak Anda jadikan sekutu dagang Anda.
Pada suatu hari, ada seseorang yang merekomendasikan seorang saksi di hadapan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khatthabradhi’allahu ‘anhu, dengan berkata, “Sesungguhnya, si fulan adalah orang yang jujur alias terpercaya.”
Mendengar rekomendasi ini, spontan sahabat Umar bin Al-Khatthab bertanya kepadanya, “Apakah engkau pernah safar bersama dengannya?” Ia menjawab, “Tidak.” Umar pun kembali bertanya, “Apakah pernah terjalin suatu perniagaan antara engkau dengannya?” Orang itu kembali menjawab, “Tidak.” Kembali, sahabat Umar bertanya, “Pernahkah engkau mempercayakan suatu amanah kepadanya?” Ia pun kembali menjawab, “Tidak.” Mendengar semua jawaban orang itu, Umar berkesimpulan dan berkata kepadanya, “Bila demikian adanya, engkau belum mengenalnya dengan baik. Aku kira, selama ini engkau hanya menyaksikannya membungkak-bungkukkan kepalanya di masjid.” (Al-Maqasid Al-Hasanah oleh As-Sakhawi, hlm. 389)
Bila pilihan Anda telah jatuh pada seseorang, hendaknya setiap kesepakatan, hak, dan kewajiban masing-masing dari Anda diwujudkan dalam “hitam di atas putih” dan dengan cara-cara yang formal, sehingga memiliki kekuatan hukum dan bersifat mengikat setiap pihak terkait.
Di antara sikap bijak yang diajarkan Islam ialah hendaknya Anda senantiasa bersikap sewajarnya dan waspada dalam setiap keadaan, baik di saat suka atau benci. Dengan cara seperti inilah–dengan izin Allah–Anda senantiasa selamat dan tidak mudah terperdaya oleh orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحْبِبْ حَبِيْبَكَ هَوْناً مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيْضَكَ يَوْماً مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيْضَكَ هَوْناً مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيْبَكَ يَوْمًا مَا. رواه الترمذي والطبراني والبيهقي وصححه الألباني
“Cintailah kekasihmu sekadarnya; bisa jadi, suatu hari nanti, ia menjadi orang yang engkau benci. Dan bencilah musuhmu sekadarnya; bisa jadi suatu hari nanti, ia menjadi kekasihmu.” (Riwayat At-Tirmidzi, Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi; dinyatakan sebagai hadis sahih oleh Al-Albani)
6. Akad muzara’ah dan musaqah
Di antara pintu usaha yang dibuka lebar-lebar dalam syariat Islam, sehingga dapat Anda memasukinya walaupun Anda tidak memiliki cukup modal, ialah akad muzara’ah dan musaqah.
“Akad muzara’ah” ialah ‘Anda menyerahkan sebidang tanah kepada orang lain untuk ditanami tanaman, dengan perjanjian: hasil tanamannya dibagi antara Anda berdua dalam persentase yang disepakati’. (Raudhatuth Thalibin oleh An-Nawawi, 5:168; Al-Mughnioleh Ibnu Qudamah, 7:555; Mughni Al-Muhtaj oleh As-Sarbini, 2:323)
Adapun “akad musaqah” ialah ‘Anda menyerahkan perkebunan milik Anda kepada seseorang untuk ia rawat, dengan perjanjian: hasil panen kebun tersebut dibagi antara Anda berdua dalam persentase yang disepakati’. (Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 7:527;Raudhatuth Thalibin, 5:150)
Saudaraku, bila Anda memiliki sebidang tanah, sedangkan Anda tidak memiliki modal untuk menggarapnya, ada baiknya bila Anda menerapkan satu dari kedua akad ini. Dengan menerapkan kedua akad ini, Anda dapat menikmati hasil tanah milik Anda, walaupun Anda tidak memiliki cukup modal untuk menggarap dan mengelolanya. Terlebih-lebih, bila Anda tidak memiliki cukup waktu atau keahlian untuk menggarapnya, sebagaimana yang dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma mengisahkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bumi Khaibar kepada orang-orang Yahudi untuk mereka rawat dan tanami, dengan perjanjian: mereka mendapatkan separuh dari hasilnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Kedua akad ini juga berguna bagi Anda bila Anda memiliki keahlian untuk mengelola ladang atau perkebunan, sedangkan Anda tidak memiliki tanah atau perkebunan dan juga tidak memiliki cukup dana untuk membeli lahan pertanian atau perkebunan. Dengan demikian, melalui skema kedua akad ini, Anda dapat memulai langkah keberhasilan dalam dunia usaha, walaupun modal Anda pas-pasan atau bahkan tidak memilikinya.
Saudaraku, bila Anda merenungkan kedua akad ini dengan saksama, niscaya Anda terkagum-kagum dengan syariat Islam. Betapa tidak, Islam memberikan kemudahan dan membuka peluang sebesar-besarnya bagi umat manusia dalam mewujudkan kepentingannya. Sebagaimana Anda juga mendapati bahwa keadilan benar-benar terwujud pada kedua akad ini, sehingga apa pun yang terjadi, kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan. (Al-Qawa’id An-Nuraniyah, hlm. 160; Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 30:324)
Mungkin, Anda bertanya, “Saya tidak memiliki keahlian bercocok tanam atau merawat ladang, apakah saya juga bisa memanfaatkan syariat ini?”
Benar, Saudaraku! Walaupun Anda tidak memiliki keahlian untuk bercocok tanam atau mungkin juga tidak memiliki sebidang tanah, Anda dapat menggunakan syariat ini untuk merintis usaha Anda. Misalnya, Anda memiliki kendaraan, sedangkan Anda tidak memiliki waktu atau keahlian untuk menjalankan usaha penyewaan kendaraan. Agar kendaraan Anda mendatangkan keuntungan bagi Anda, Anda dapat bekerja sama dengan seseorang yang memiliki keahlian dalam bidang penyewaan kendaraan, dengan skema akadmusaqah. Dengan demikian, orang itulah yang merawat kendaraan Anda, lalu mencari pelanggan, dan hasil sewanya dibagi berdua, sesuai dengan perjanjian. Karena itu, sejak dahulu kala, umat Islam memercayakan pemeliharaan hewan ternak mereka kepada orang lain, dengan ketentuan: anak keturunannya atau hasil susunya dibagi sesuai dengan perjanjian yang disepakati. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 30:324)
Ibnu Qudamah berkata, “Bila ada seseorang yang menyerahkan hewan kendaraannya kepada orang lain untuk ia gunakan bekerja, dan hasil pekerjaannya dibagi sama rata antara mereka berdua, atau sepertiga atau berapa pun yang mereka sepakati, maka itu adalah perjanjian yang dibenarkan.” (Al-Mughni, 7:116)
7. Menjadi penyalur, agen, atau makelar
Di antara pintu usaha yang dibuka dalam syariat Islam bagi Anda untuk dapat merintis kerajaan bisnis, ialah menjadi penyalur, agen, atau makelar. Opsi ini sangat efektif, terutama bagi para pemula.
Melalui opsi ini, Anda dapat belajar banyak tentang seluk-beluk perniagaan, dengan risiko yang sangat kecil. Anda dapat mengenal barang, produksi, pasar, dan memiliki banyak relasi tanpa butuh modal.
Betapa banyak dari pengusaha sukses yang mulai merintis kerajaan bisnisnya dari sini. Karenanya, tidak ada salahnya bila Anda pun meniru jejak mereka dengan menjadi agen atau makelar suatu produk. Kelak, bila Anda telah memiliki jaringan yang cukup, mendapat kepercayaan banyak orang, dan berhasil mengumpulkan sedikit modal, Anda dapat segera mengubah haluan bisnis Anda. Anda tidak lagi menjadi pegawai atau hanya sekedar makelar, tetapi Anda menjadi pemilik usaha yang mempekerjakan banyak calon pengusaha sukses seperti Anda.
Ketahuilah, Saudaraku! Kepercayaan dan pengalaman adalah modal usaha yang tidak kalah penting dibanding modal finansial. Karenanya, tidak ada salahnya bila Anda mulai membangun modal kepercayaan dan pengalaman, untuk kemudian mendapatkan modal finansial.
Ingatlah bagaimana dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlahir dalam keadaan yatim dan di keluarga miskin. Akan tetapi, karena akhlak beliau yang mulia, amanah, jujur, dan arif, beliau mendapat kepercayaan dari Khadijah, seorang wanita kaya raya, untuk menjalankan perniagaannya di negeri Syam. (Sirah Ibnu Hisyam, hlm. 187).
Demikian pula, hendaknya diri Anda membuktikan kredibilitas Anda. Niscaya, banyak pemilik modal yang akan mencari Anda. Anda ragu? Buktikan! Niscaya–dengan izin Allah–Anda tidak akan kecewa.
Semoga pemaparan singkat ini dapat menggugah semangat Anda untuk segera mulai merintis kesuksesan dalam dunia bisnis. Tidak lupa pula, saya turut berdoa, semoga Allah memudahkan urusan Anda dan menyegerakan keberhasilan usaha Anda. Wallahu a’alam bish-shawab.
Sumber: www.PengusahaMuslim.com
sumber II : http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2011/05/05/alternatif-permodalan-dalam-islam/