Bismillahirrahmanirrahim..
Satu persatu mahasiswi mulai memasuki mushola akhwat, memenuhi shaf
terdepan hingga 3 deret ke belakang. Aku memilih duduk di shaf terakhir.
Mungkin karena tak banyak dari mereka yang ku kenal. Aku yakin
kebanyakan dari mereka adalah mahasiswi tarbiyah islam . Itu bisa
dilihat dari jilbab mereka yang lebar-lebar hingga menutupi seluruh
badan, yang pasti mereka selalu terlihat menggunakan rok ataupun gamis.
Memang sih, ada anak di fakultasku, ekonomi syariah, yang juga
berpenampilan seperti itu. Tapi semenjak ospec 3 minggu yang lalu, Aku
sedikit familiar dengan anak-anak di fakultasku.
Kalau soal penampilan, aku sendiri lebih suka pakai celana jins yang
dipasangin kemeja dengan sehelai jilbab tipis yang membelit kepala.
Sejak
memutuskan menggunakan jilbab 2 tahun yang lalu, gayaku memang sudah
begini, dan aku merasa nyaman. Lagipula, aku belum siap untuk
berpenampilan ‘ribet’ seperti itu. Lagi pula apa kata dunia, seorang
Heni mantan anak paskibraka berubah jadi ustadzah.. hehe..
Aku galau. Sebenarnya aku jarang ikut kajian semacam ini. Kalau saja
bukan karena aku kidung janji dengan sahabatku, aku mungkin tidak akan
betah berada di tempat ini lama-lama. Ia janji jika aku datang dan
mendengarkan kajian hari ini sampai habis, ia mau menemaniku bergabung
di Anapela (Anak Pencinta Alam).
“Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh..” Seorang senior yang
bertugas selaku moderator mulai membuka acara. Para hadirin serempak
menjawab, “Wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh”
Selama pembukaan berlangsung, mataku asik mencuri-curi pandang ke
arah jam dinding, sesekali melihat jauh dari sela pintu. “Tu anak kapan
nongolnya ya..”
“Assalamu’alaikum..” tegur seorang perempuan ramah yang tiba-tiba
duduk disebelahku, yang aku yakini senior di fakultas tarbiyah.
“Eh.. Oh.. iya kak.. walaikumsalam” balasku terbata. Refleks ku sambut uluran tangannya yang hendak mengajak bersalaman.
“Ratih”
“Heni kak!” balasku mesem-mesem.
Lalu segerombol perempuan berpenampilan sama dengan kak Ratih, datang
dari arah pintu menuju tempat dimana Aku duduk. Mereka saling berjabat
tangan dan mengucapkan salam, termasuk kepadaku. Agaknya orang-orang
disini, membudayakan salam dan berjabat tangan pada siapa saja, walaupun
belum kenal dan hanya anak kemarin sore (junior). Bahkan ada yang
sampai cium pipi kiri cium pipi kanan. tapi yang jelas, itu hanya
kebiasaan para wanitanya.
“hussst Husst..” terdengar suara mendesis dari arah belakang. Spontan aku melongok, mencari sumber suara. Ternyataa…
“Ulann, kenapa baru datang…” lirihku geram. Si tersangka hanya
cengar-cengir sambil melayangkan dua jarinya ke udara yang mentuk huruf V
yang berarti ‘damai soob!’. Aku yang geram, membalasnya dengan
melayangkan sebuah kepalan yang berarti ‘
warning‘.Ia nyengir lagi, lebih lebar kali ini.
Aku mulai memfokuskan diri ke depan. Ternyata, pembicara sudah mulai
dengan kajiannya.Seorang wanita setengah baya, berpenampilan Ratih
(maksudnya, penampilannya mirip kak Ratih, hehe), menggunakan kacamata
berbingkai emas dengan aura kewibawaannyannya sangat jelas terpancar.
“
Saudariku yang salihah, jika Allah telah menetapkan suatu
perkara, maka percayalah bahwa hal tersebut adalah untuk ke maslahatan
bersama. Tidak pernah rugi seseorang jika melaksanakan semua perintah
Allah swt. Seperti misalnya kewajiban menutup aurat. Banyak
dari kita yang merasa, menggunakan jilbab dan membungkus badan saja
sudah dikatakan menutup aurat. Mereka berpikir asalkan rambut dan kulit
badan sudah tak terlihat mereka sudah berbusana muslimah? Tidak! Itu
sama sekali belum menutup aurat.
Dalam Al-Ahzab ayat 59 dikatakan ;
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Disana ada “bocoran” dari Allah swt bahwa ternyata jilbab selain
sebagai ‘identitas’, ia juga berfungsi untuk menghindari gangguan.
Seperti yang kita yakini, manusia adalah makhluk ciptaanNya. Dan hanya
Allah swt yang tahu betul bagaimana sifat dan karakter makhluk
ciptaannya. Namun Allah swt dengan karomahNya ingin, berusaha melindungi
kaum hawa dari fitnah-fitnah dunia. Salah satunya dengan menutup
aurat.Itu dilakukan Allah bukan karena ingin menyulitkan, sama sekali
bukan. Tidakkah ananda semua merasakan betapa sayangnya Allah kepada
para wanita. Namun justru para wanitanya itu sendiri yang menduga-duga,
merasa sulit dengan kasih sayangNya. Naudzubillah.
Tanpa bermaksud buruk, pernahkah terfikirkan oleh kita,
seandainya bagian tubuh ‘yang menonjol’ dari seorang wanita yang tidak
ditutup secara benar auratnya, secara diam-diam menjadi santapan mata
para lelaki hidung belang. Tidak di kampus, di jalan, di mana saja,
dengan bangganya kita umbar bagian tersebut. Berhari-hari,
berbulan-bulan bahkan dalam hitungan tahun. Dan lebih parahnya lagi,
jika kemolekkan tubuh kita masuk dalam pilihan dimensi pikiran kotor
mereka. Meskipun tidak berjumpa, namun bayang-bayang tubuh kita selalu
ada dalam cengkraman nafsu mereka. Yang menjadikan mereka mengelu-elu
dan memuji kita, yang terkadang kita salah artikan dengan cinta. Lalu
bagaimana jika pemandangan itu tak sengaja terlihat oleh para lelaki
soleh?
Wahai wanita solihah, menutup aurat itu hukumnya wajib. Banyak
sekali yang beralasan dengan mengatakan belum siap. Lalu apakah kita
bisa menyebutkan kata belum siap saat malaikat pencabut nyawa telah
berdiri di hadapan, apakah kita juga akan mengatakan belum siap untuk
melaksanakan sholat 5 waktu karena merasa berat? Jadikan jilbabmu
sebagai peringatan untuk menjadi yang lebih baik. Misalnya jika seorang
lelaki mengajakmu berdua di suatu tempat, maka pandanglah jilbabmu.
Pantaskah itu kau lakukan?”
Entah apa lagi yang di ucapkan wanita paruh baya itu. Aku kalut
dengan pikiranku sendiri. Rasanya tikus penggali tanah adalah wujud
yang tepat untukku sekarang. Aku ingin segera menggali batu marmer
musholla ini untuk segera pergi dari sini. Aku melongok kanan dan kiri,
mencoba memperhatikan sekitar, mana tau ada yang melihat penampilanku.
Namun sepertinya, mereka terlalu fokus dengan isi ceramah wanita
itu.Rasanya waktu berjalan sangat lambat, dan setiap kata yang di
ucapkan wanita itu benar-benar menembus batas sanubari.
Pukul 15.09. Kajian usai. Aku membiarkan mereka semua keluar terlebih
dahulu. Entah kenapa, aku belum sanggup untuk berada di keramaian. Aku
lemas. Kak Ratih yang ada di sampingku mencolek bahuku, menyodorkan
tangannya untuk bersalaman. Masih dengan sikapnya yang teduh dan
bersahabat, tersenyum manis kepadaku. Tanganku berkeringat, namun
kusambut jua uluran tangannya.
“Saya duluan ya, Assalamu’alaikum…” ucapnya.
“Wa’alaikumsalam..”kataku mencoba tersenyum. Dan beberapa perempuan
yang ada di sekitarku mulai menyalamiku dan berpamitan pulang. Responku
tetap sama, mencoba bersikap ramah. Sampai sebuah ‘towelan’ mampir di
punggungku. Aku bersiap untuk menyalaminya, namun yang kutemukan adalah
wajah sumringan si Ulan. Aku lantas menampilakan wajah manyun sedikit
memelas, memberi tanda bahwa “ada yang ingin aku sampaikan padanya”. Ia
memberi isyarat untuk pindah posisi ke sudut musholla. Aku memperhatikan
sekitar, wanita yang menjadi pembicara dan beberapa panitia masih ada
di ruangan tersebut. Akhirnya aku menurutinya, mengikuti Ulan ke arah
yang ia maksud.
Ulan menatapku dengan tatapan yang sulit ku mengerti. Agaknya ia
menangkap ekspresi mataku yang berlahan basah oleh air mata. Aku
memeluknya..
“Lan, aku malu. Aku malu. Aku kira aku sudah melakukan yang terbaik.
Aku bahkan menganggap aneh orang-orang yang berusaha menutup auratnya
dengan benar”
“Termasuk aku..” sambut Ulan, mencoba menceriakan suasana.
“Aku serius..” rajukku sambil mencubit pelan tangannya.
Ia lantas tersenyum, “Heni ku sayang, kamu tau apa yang paling mahal di dunia ini?”
Aku menggelengkan kepala.
“Yang paling mahal itu adalah hidayah. Karena bagaimanapun usaha
seorang manusia mengajak kepada kebenaran, jika Allah tak hendak
menurunkan hidayah baginya, maka ia tetap tidak akan bisa ‘mendengar’
kebaikan tersebut. Dan untuk menggenggam hidayah tersebut, butuh usaha
dan do’a. Jadi sekarang, kamu tinggal pilih, untuk terus mendengar
tanggapan orang-orang atau hendak menyambut kasih sayangNya..???”
nasihat Ulan sambil melepas kaitan jilbab yang membelit di leherku,
hingga jilbab tersebut terulur menutupi dada.
Aku menatap Ulan. “Aku ingin berubah..” azzamku kemudian.
“Alhamdulillah, lahaula walakuwata ilabillah” seru Ulan yang seta merta memelukku takzim.
*Terima kasih Allah, terima kasih sahabat
Pekanbaru, 11 maret 2012
::Dyah Aw::