Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya
melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke
rumah saya.Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat
di keningnya.
Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang
bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU
itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk
dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok
tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong
bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah
dengan Yudi, anak saya?
Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng.
Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan
itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya
mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi
seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi
sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu
tidak masuk.
Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu
menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa
masuk.
Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia
menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak
muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin
dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang
janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti
berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa
buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik
daripada lengah?
Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara
kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu
sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak
pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.
Terlintas di
pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut
jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda
itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa
ada yang memukul.
Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan
dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang
mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi
kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya
ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak
muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di
atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena
kaki saya masih lemas.
* *
*
Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan
penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli
bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang
menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang
gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan
bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah
saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue,
telah raib.
Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si
penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu.
Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya
simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang
berkurang.
Lama saya melihat dompet itu dan
melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa
pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit
seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib,
seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah
dongengan?
Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong
plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat
yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya
seperti ini: "Ibu yang baik, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu.
Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak
punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu
mau membacanya. Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya
di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah
nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena
kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah
sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian
sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.
Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak
berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung.
Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu
untuk beli beras.
Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang
lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya
bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring
di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen.
Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung
dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi
kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya
tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak
yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil
judi, saya yakin itu.
Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang
sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya
mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai
Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya
sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?
Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi
buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu
sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya
tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak
perduli. Hampir saya memukulnya lagi.
Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya
dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa.
Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan
mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali
bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung
jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk
sekali makan.
Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran
tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya
mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi
saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi
pencopet.
Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya
melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti
Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu
dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang
300 ribu lebih.
Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter.
Tapi Ibu, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana
saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu
tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa
berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu
saya selesai bercerita.
Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis.
Ibu, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya
ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300
ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura.
Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan
orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli
kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus
mengembalikan dompet Ibu. Maaf."
Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca.
Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap
stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di
taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang
berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.
Lelah mencari, di bawah pohon
rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat
sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi
pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan.
Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke
luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan oleh-oleh
yang biasa saja.
Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap
saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati
kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang
harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan,
dan sebagainya.
Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa
sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan
di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan
tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus
bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya,
nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan
pengamen yang banyak di setiap stopan.
Di stopan terakhir yang kami
kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama.
Diam-diam air mata mengalir dimata saya.
Yuni menghampiri saya dan bilang, "Mama,
saya bangga jadi anak Mama." Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak
lainnya.