Dari sekian peristiwa berdarah di masa
kepemimpinan Soeharto adalah peristiwa Talangsari 1989 di Dusun
Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur.
Peristiwa Talangsari Lampung menjadi
kisah tragis yang dilupakan negara. Ratusan orang yang saat itu menjadi
korban seakan tidak berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, serta
mendapatkan keadilan lewat penghukuman pelaku dan pemulihan hak-haknya.
Bertahun-tahun, korban yang masih menderita atas peristiwa itu juga
mengalami teror dan intimidasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam
kejahatan tersebut. Upaya damai lewat islah memberi dampak negatif
terhadap hubungan antar sesama korban yang kemudian terpecah.
Bergantinya pemerintahan juga tidak merubah sikap negara untuk mengusut
tragedi ini. Negara justru terkesan berdiam diri dan pura-pura tidak
mendengar suara korban.
******
Kamis Malam, 9 Feb 1989, pukul 21.00,
Acara televisi favorit saat itu, Dunia Dalam Berita TVRI. Panglima ABRI
Jenderal TNI Try Soetrisno berseragam lengkap, tampil bicara.
Jenderal Try: “Saudara-saudara, sebangsa
se-tanah air. Hari ini telah terjadi kerusuhan kecil di Talangsari,
Lampung. Sekelompok GPK melakukan perlawanan terhadap prajurit TNI yang
sedang melaksanakan tugas,” Jenderal Try menghela napas.
“Dalam kontak senjata, putera terbaik
bangsa, Danramil Way Jepara, Kapten TNI Soetiman, gugur di medan tugas.
Ia terkena panah beracun pihak GPK. Dua prajurit TNI lainnya terluka
parah. Dari pihak GPK dilaporkan, enam tewas. Situasi di lokasi kejadian
kini aman di bawah kendali prajurit TNI,” tutur Try.
Kisah berawal
dari seorang tokoh bernama Warsidi yang dicurigai aparat karena ingin
membuat gerakan untuk menjadikan Negara Islam di Indonesia.
Aparat mencium aktivitas Warsidi dan
pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan
Kecamatan (MUSPIKA) dipimpin oleh Danramil Way Jepara Kapten Soetiman
mendatangi kediamannya untuk meminta keterangan kepada Warsidi beserta
pengikutnya.Namun, kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan
perlawanan oleh pengikut Warsidi. Akibatnya, Kapten Soetiman tewas dan
dikuburkan di Talangsari.Pemerintah langsung mengambil tindakan tegas
dan mengirim tentara dari Korem Garuda Hitam tanggal 7 Februari 1989
yang saat itu dipimpin oleh Kol Hendropriyono.
Harinya Selasa, 7 Februari 1989.
Umat Islam baru saja membenahi salat subuh. Tiba-tiba terdengar
tembakan, gencar menyiram bangsal pengikut Warsidi di dukuh yang masuk
bilangan Way Jepara, Lampung Tengah itu. Pekik tangis pecah ke angkasa,
bersama desing peluru.
Danrem 043 Garuda Hitam Kol. Hendropriyono bersama lebih dari satu
batalion pasukan infantri dibantu beberapa Kompi Brimob, CPM dan Polisi
setempat mengepung dan menyerbu perkampungan Cihideung dengan posisi
tapal kuda, marah bagai dirasuk dendam.
Dari arah Utara (Pakuan Aji), Selatan (Kelahang) & timur (Kebon
Coklat, Rajabasa Lama). Sementara arah barat yang ditumbuhi pohon
singkong dan jagung dibiarkan terbuka. pasukan yang dilengkapi senjata
modern M-16, bom pembakar (napalm), granat dan dua buah helikopter yang
membentengi arah barat. Melihat penyerbuan terencana dan besar-besaran,
dan tidak ada jalan keluar bagi jama’ah untuk meyelamatkan diri, jama’ah
hanya bisa membentengi diri dengan membekali senjata seadanya. Tanpa
ada dialog dan peringatan, penyerangan dimulai.
Pukul 07.00 : Karena kekuatan yang tidak seimbang,
pasukan yang dipimpin mantan menteri Transmigrasi berhasil menguasai
perkampungan jama’ah dan memburu jama’ah. Dalam perburuan itu, aparat
memaksa Ahmad (10 th) anak angkat Imam Bakri sebagai penunjuk
tempat-tempat persembunyian dan orang yang disuruh masuk kedalam
rumah-rumah yang dihuni oleh ratusan jema’ah yang kebanyakan terdiri
dari wanita dan anak-anak. Setelah menggunakan Ahmad, aparat berhasil
mengeluarkan paksa sekitar 20 orang ibu-ibu dan anak-anak dari pondok
Jayus. Ibu Saudah, salah satu korban yang dikeluarkan paksa sudah
melihat sekitar 80-an mayat yang bergelimpangan disana-sini hasil
serangan aparat sejak pukul 05.30 tadi pagi.
Setelah dikumpulkan ke-20-an ibu-ibu dan anak-anak dipukul dan
ditarik jilbanya sambil dimaki-maki aparat “Ini istri-istri PKI”.
Didepan jama’ah seorang tentara mengatakan “Perempuan dan anak-anak ini
juga harus dihabisi, karena akan tumbuh lagi nantinya”.
Pukul 07.30 : Tentara mulai membakar pondok-pondok
yang berisi ratusan jama’ah dan anak-anak rumah panggung. dengan memaksa
Ahmad menyiramkan bensin dan membakarnya. Dibawah ancaman senjata
aparat, Ahmad berturut-turut diperintahkan untuk membakar rumah Jayus,
Ibu Saudah, pondok pesantren dan bangunan-bangunan yang diduga berisi
80-100 orang terdiri dari bayi, anak-anak, ibu-ibu banyak diantaranya
yang masih hamil, remaja dan orang tua dibakar disertai dengan
tembakan-tembakan untuk meredam suara-suara teriakan lainnya.
Sambil membakar rumah-rumah tersebut, Purwoko (10 th) dipaksa aparat
untuk mengenali wajah Warsidi dan Imam Bakri diantara mayat-mayat
jama’ah yang bergelimpangan. Mayat Pak War dan Imam Bakri ditemukan
setelah Purwoko hampir membolak-balik 80-an mayat.
Pukul 09.30 : Setelah ditemukan, kedua mayat
tersebut kemudian diterlentangkan di pos jaga jama’ah dengan posisi
kepala melewati tempat mayat tersebut diterlentangkan (mendenga’-leher
terbuka-). Tak berapa lama, seorang tentara kemudian menggorok leher
kedua mayat tersebut.
Pukul 13.00 : Kedua puluhan ibu dan anak-anak tadi kemudian berjalan kaki sekitar 2 Km untuk dibawa ke Kodim 0411 Metro .
Pukul 16.00 : Hendropriyono mengintrogasi ibu-ibu
tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan: Ikut pengajian apa? Apa yang
diajarkan? Gurunya siapa? Dan menerangkan bahwa jama’ah Warsidi batil
karena menentang Pancasila dan mengamalkan ajaran PKI.
Pukul 17.00 : Jama’ah kemudian dimasukan kedalam
penjara. Sementara di Sidorejo pada pagi harinya atas informasi,
Sabrawi, supir bis Wasis, aparat bersama warga mengepung rumah Zamjuri.
Bersama Zamzuri ada 8 orang jema’ah yaitu: Munjeni, Salman Suripto,
Soni, Diono, Roni, Fahrudin, Isnan dan Mursalin Karena dituduh perampok
oleh aparat, terjadilah bentrok dengan Polsek Sidorejo. Serma Sudargo
(Polsek Sidorejo), Arifin Santoso (Kepala Desa Sidorejo) tewas. Dipihak
jama’ah, Diono, Soni dan Mursalin tewas.sedangkan Roni terluka tembak.
Kamis, 9 Februari 1989 Pukul 08.40 : Jama’ah yang
marah mendengar kebiadaban dan penahanan jama’ah di Kodim 0411 Metro
tersebut menyerbu Kodim dan Yonif 143. Dalam penyerbuan itu, 6 orang
jama’ah tewas. Sedangkan dipihak aparat pratu Supardi, Kopda Waryono,
Kopda Bambang Irawan luka-luka terkena sabetan golok. 1 sepeda motor
terbakar dan kaca depan mobil kijang pick up pecah.
Dua minggu kemudian : Tahanan ibu-ibu di Kodim
dipindahkan ke Korem 043 Gatam. Di Korem, Hendropriyono memerintahkan
anak buahnya untuk melepas paksa jilbab-jilbab ibu-ibu jama’ah sambil
berkata “tarik saja, itu hanya kedok”. Penangkapan sisa-sisa anggota
jama’ah oleh aparat dibantu masyarakat oleh operasi yang disebut oleh
Try Sutrisno Penumpasan hingga keakar-akarnya; Penangkapan para aktivis
islam di Jakarta, Bandung, solo, Boyolali, mataram, Bima & dompu
melalui operasi intelejen yang sistematis yang banyak diantaranya sama
sekali tidak mengetahui kejadian.
*****
Jumlah korban simpang-siur. Menurut versi tentara, korban tewas 27
orang. Tapi sejumlah lembaga swadaya masyarakat menghitung 246 korban
tewas. Pemerintah memburu jaringan kelompok ini ke Jakarta dan Jawa
Tengah. Beberapa pengikut tertangkap, dijebloskan ke bui.
Seperti tragedi kemanusiaan lainnya, suara korban Talangsari baru
didengar setelah Soeharto jatuh, 21 Mei 1998. Korban dan aktivis
kemanusiaan menuntut pemerintah segera mengadili pelaku penembakan.
Pada Juni 2001, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
membentuk tim ad hoc untuk menyelidiki kasus ini. Hasilnya tak jelas.
Belakangan, Komnas membentuk tim penyelidikan. Tim ini terjun ke
lapangan mewawancarai korban, keluarga korban, dan sejumlah pelaku.
Penyelidikan itu selesai pada pertengahan Mei 2006.
Penyelesaian kasus ini berkelok. Hasil kerja tim masih harus memasuki
tahap analisis hukum. Pada tahap ini akan ditilik apakah tragedi
Talangsari masuk kategori pelanggaran berat atau ringan. Hasil analisis
itu pun harus dirapatkan lagi di pleno Komnas HAM.
Jika pleno menilai tidak terdapat pelanggaran berat hak asasi
manusia, kasus ini cukup diselesaikan lewat peradilan umum. Tapi, jika
terdapat pelanggaran berat hak asasi, penyelesaiannya bisa lewat dua
pintu: Undang-Undang No. 26/2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia,
atau justru cukup lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Jalan berliku itu diprotes sejumlah aktivis hak asasi manusia dan
korban Talangsari. Ahmad Fauzi Isnan, yang divonis 20 tahun penjara,
berharap Komnas HAM bisa menyelesaikan kasus ini. Tentara yang terlibat,
katanya, kini sudah jadi petinggi, malah berambisi menjadi penguasa.
“Dengan segala cara, mereka akan berusaha agar tidak disebut penjahat
perang,” katanya.
Sejumlah korban lain berharap pemerintah segera menuntaskan kasus
ini. “Kami mendesak pemerintah segera membawa kasus ini ke pengadilan.
Jangan berlama-lama,” kata Azwir Kaili, ketua keluarga korban
Talangsari.
Hendropriyono sendiri lebih memilih jalur damai. Pada Februari 2000,
ketika menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), ia mengundang 80
korban dan keluarga korban ke rumahnya di Jakarta, membahas jalur islah.
Jalur damai ini ditentang sejumlah korban. Belakangan, beberapa korban
yang ikut islah malah menarik diri. Kini kasus ini masih di tahap
analisis hukum di Komnas HAM.
********
sumber:
http://serbasejarah.wordpress.com/