Suatu hari, Al Qadhi didera rasa lapar yang luar biasa. Ia tidak
memiliki uang sepeserpun, ia juga tak menemukan makanan apapun untuk
mengganjal perutnya.
Dalam kondisi demikian, Al Qadhi
menemukan sebuah kantung dari sutra, yang diikat dengan sutra pula. Ia
pun kemudian membawa kantung itu ke rumahnya. Betapa terkejutnya Al
Qadhi, ternyata isi kantung itu adalah sebuah kalung permata. Sangat
indah. Bahkan Al Qadhi belum pernah melihat kalung seperti itu.
Ketika
Al Qadhi keluar rumah, ia melihat seorang lelaki tua berteriak mencari
barangnya yang hilang. “Barangsiapa yang menemukan kantung sutra berisi
kalung permata milikku, aku akan menggantinya dengan uang lima ratus
dinar,” kata lelaki tua itu memberikan pengumuman, sambil menunjukkan
sebuah kantung yang berisi uang.
“Hai Pak Tua, kemarilah,” seru Al Qadhi memanggilnya. Mengajak lelaki tua itu ke rumah.
“Bagaimana cirri-ciri barangmu yang hilang itu?”
Lelaki
tua itu menceritakan sifat-sifat kantung sutranya dengan detail,
berikut kalung permata di dalamnya. Yakin bahwa barang yang dimaksudkan
adalah yang telah ditemukannya, Al Qadhi mengambilkan kantung sutra dan
isinya kepada bapak tua itu.
“Terima kasih, Nak. Ini hadiah yang telah kujanjikan,” kata lelaki tua itu sambil menyerahkan sekantung uang.
“Tidak
Pak. Aku tidak mau menerimanya. Sudah seharusnya aku mengembalikan
barang itu kepada Bapak sebagai pemiliknya,” kata Al Qadhi menolak
hadiah itu.
“Kau harus menerimanya, itu sudah janjiku,” kata pak
tua membujuk Al Qadhi agar mau menerimanya. Tetapi Al Qadhi bersikeras
menolak hadiah itu.
Lelaki tua itu tak bisa memaksa Al Qadhi.
Akhirnya ia pergi setelah mengucapkan terima kasih atas kebaikan Al
Qadhi. Dalam hati, ia takjub ada pemuda yang sangat jujur dan baik hati
seperti ini. Ia pun berdoa sesuatu tanpa diketahui Al Qadhi.
Waktu
demi waktu berlalu. Hingga suatu saat, Al Qadhi berlayar meninggalkan
Makkah. Di tengah laut, kapal yang ditumpangi Al Qadhi pecah dihantam
ombak dan badai. Seluruh penumpangnya tewas tenggelam kecuali Al Qadhi
yang sendirian berjuang melawan kematian dengan memanfaatkan puing-puing
kapal. Akhirnya ia selamat sampai ke darat. Terdampar di sebuah pulau.
Al Qadhi langsung menuju masjid di pulau itu. Di rumah Allah itu ia
bersyukur, Allah masih menyelamatkan nyawanya. Ia pun kemudian membaca
Al Qur’an.
Para penduduk yang mendengar betapa indahnya tilawah Al Qadhi kemudian menghampirinya.
“Ajarilah kami membaca Al Qur’an,” pinta mereka.
Hari-hari
berikutnya dilalui Al Qadhi dengan mengajari mereka membaca Al Qur’an.
Setelah itu mereka minta diajari menulis. Al Qadhi pun mendapatkan cukup
banyak uang dari penduduk pulau itu.
“Kami memiliki
seorang putri yatim,” kata mereka pada suatu hari, “kami memandang
engkaulah yang pantas menikahinya. Putri kami itu memiliki harta yang
cukup banyak.”
Semula Al Qadhi menolak. Tetapi penduduk terus memaksa, hingga tak ada alasan lagi bagi Al Qadhi untuk menolaknya.
Setelah
Al Qadhi siap menikah dengan gadis itu, ia pun dibawa ke hadapan Al
Qadhi. Betapa terkejutnya Al Qadhi, gadis itu memakai kalung permata
yang sama seperti ia pernah menemukannya dulu sewaktu di Makkah. Lama ia
tertegun memandang kalung itu, memutar kembali memorinya.
“Kau
telah menghancurkan hati gadis yatim itu,” kata seorang penduduk ketika
acara ta’aruf itu selesai, “kau hanya memperhatikan kalung itu, bahkan
tidak melihat gadis yang akan kau nikahi.”
“Kalung permata itu… dulu aku menemukan kalung yang persis seperti itu sewaktu di Makkah…” Al Qadhi menceritakan semuanya.
“Allaahu akbar!” pekik takbir mereka terdengar hampir serempak begitu Al Qadhi selesai bercerita.
“Mengapa kalian bertakbir?” tanya Al Qadhi.
“Tahukah
engkau, orangtua yang kau jumpai di Makkah dulu adalah ayah gadis ini.
Dia pernah mengatakan bahwa ia tidak pernah menjumpai Muslim sebaik
pemuda yang menemukan dan mengembalikan kalungnya. Ia juga berdoa agar
putrinya nanti dapat menikah dengan pemuda itu. Dan kini doanya
terkabul, meskipun ia tak bisa menyaksikannya.”
Al
Qadhi pun kemudian menikah dengan gadis itu dan Allah mengkaruniakan
kepada mereka dua orang putra. Kalung permata itu di kemudian hari
menjadi harta pusaka keluarga yang turun temurun dari generasi ke
generasi.
Kisah nyata ini bermula di Makkah, tempat Al Qadhi
tinggal saat itu. Nama lengkap lelaki shalih itu adalah Al Qadhi Abu
Bakar Muhammad bin Abdul Baqi.
SUMBER