Jam dinding menunjukkan pukul 10 pagi lebih beberapa menit saat keponakan saya yang masih duduk di bangku SD kelas dua tiba dari sekolah dengan sepedanya. Masih dari jalan depan rumah, ia sudah berteriak lantang kepada ibunya—Bibi saya, meminta uang dua ribu rupiah. Ya, hanya dua ribu rupiah memang. Tetapi untuk anak kecil seusianya yang tinggal di sebuah desa kecil, uang sejumlah itu nilainya sudah cukup besar.
Tak kalah lantang, ibunya menimpali permintaan itu dengan emosional. Saya yakin, jika ada di rumahnya, tetangga kanan kiri rumah akan mendengar dengan sangat jelas suara Bibi saya itu. Sebenarnya pertanyaan standar saja; ia menanyakan untuk apa uang sejumlah itu? Hanya saja, pertanyaan standar itu terdengar seolah menjadi sebuah “kemurkaan” di telinga keponakan saya karena intonasi suaranya yang sangat tinggi. Bibi saya juga langsung ber-su’uzhan, bahwa uang sejumlah itu akan dibelikannya mainan karena hari itu ada seorang warga yang sedang hajatan mengadakan hiburan Orgen, yang tentu saja akan banyak orang berjualan di sana. Tanpa memberinya kesempatan berdialog untuk mengutarakan alasannya meminta uang sejumlah itu dengan bahasa cinta seorang ibu.
Bisa ditebak, keponakan saya langsung mengeluarkan jurus pamungkasnya: menangis seketika. Masih lengkap dengan seragam sekolahnya yang belum sempat dilepasnya. Cukup lama ia menangis. Di sela tangisannya, di antaranya ia menyebut-nyebut uang miliknya dari pemberian para famili yang “diminta” (baca: disimpan) oleh ibunya.
Bibi saya yang tidak sabaran dan cenderung emosional, mendengar anaknya menyebut-nyebut uang miliknya yang “diminta” olehnya, menanggapinya juga dengan kurang bijak. Ia langsung membuka lemari tempat di mana uang itu disimpan dan diberikannya uang itu semuanya kepada keponakan saya. Habiskan saja semua uang itu, kata Bibi saya masih dengan emosinya pada anaknya yang masih menagis tersedu-sedu di depannya.
Begitulah bahasa cinta yang dimiliki Bibi saya pada anak semata wayangnya.
#
Sekarang, izinkan saya bercerita kepada Anda, jika seandainya kejadian serupa saya alami beberapa tahun yang akan datang. Ya, karena bukan tak mungkin saya juga akan merasakan menjadi orang tua seperti Bibi saya, iya kan?
#
“Mamaa…! Aku minta uang dua puluh ribu!!” Teriak Ahmad lantang masih dari pinggir jalan depan rumah sepulang sekolah dengan sepeda mininya yang dicat warna hijau muda. Anak semata wayangku itu masih duduk di bangku SD kelas dua.
Aku tersenyum lebar mendengar teriakannya. Sambil membukakan pintu samping rumah mungil kami, aku menyapanya dengan wajah matahari sepenggalah. “Assalaamu ’alaikum! Wah, jagoan Mama sudah pulang ya?”
Ahmad turun dari sepedanya dan menuntunnya ke arahku. Walau tampak cuek, akhirnya ia malu-malu menjawab salamku. Ya, aku memang selalu mengingatkannya untuk mengucapkan salam salam setiap akan masuk ke rumah. Tapi tadi mungkin ia lupa. Aku bisa memakluminya.
Sembari Ahmad melepas sepatunya, aku mengambil segelas air putih untuknya dengan mug bergambar lucu kesayangannya. Kemudian aku lap keringat dingin yang membanjir di dahi dan mukanya.
“Stop! Cuci tangan dulu, Sayang…, ” cegahku ketika tangan Ahmad akan menyerobot mug berisi air putih di depannya.
Lagi, meski kelihatan enggan ia menuruti kata-kataku. Ia menuju tempat air untuk mencuci tangannya.
Setelah menghabiskan minumnya, aku mengajak Ahmad ke “ruang santai” rumah kami yang sekaligus menjadi ruang belajar, ruang kerja, dan perpustakaan mini keluarga. Tempat di mana sebuah PC dan printer, beberapa rak berisi koran, majalah, jurnal ilmiah, ensiklopedi, kamus aneka bahasa, Al-Quran dan buku-buku fiksi dan nonfiksi, sebuah whiteboard ukuran sedang, serta beberapa alat permainan kreatif milik Ahmad berada.
Di sana, sambil mengganti seragam sekolahnya, Ahmad mulai bercerita tentang aktivitasnya di sekolah tadi. Aku mendengarkannya antusias sambil memeriksa buku-buku catatan sekolahnya. Wah, pagi ini Ahmad mendapat nilai 10 untuk Matematika, 9 untuk Bahasa, dan 7.5 untuk Menggambar. Tak mau kehilangan momen baik, aku pun memberikan ucapan selamat untuknya dan lebih memotivasinya agar menjadikan belajar dan sekolah sebagai salah satu bentuk ibadah dan bukan semata untuk mendapatkan nilai bagus saja, di antara kalimat-kalimat yang meluncur deras dari bibirnya. Juga mengingatkannya lagi agar pada saat waktu belajar tiba tidak harus selalu diingatkan oleh kami, orang tuanya. Hingga sampailah Ahmad pada cerita itu….
“Mama….” Ahmad tampak sungkan melanjutkan kalimatnya.
Aku menatap mata beningnya dengan cinta. Memintanya untuk tak sungkan bercerita apa adanya tanpa harus dengan berkata-kata. Aku menganggukan kepalaku dan tersenyum lebar untuknya.
“Mama, ee….” Ia masih ragu.
“Ingat tidak apa kata Rosul? Orang jujur disayang…?”
Disayang Allah! Aku yakin sekali Ahmad menjawabnya begitu, meski ia tidak mengucapkannya.
“Tadi di sekolah, Farhan membawa VCD cerita Nabi Musa. Aku sih hanya lihat cover-nya saja. Tapi kata Farhan yang sudah menontonnya, ceritanya bagus banget lho, Ma….” Akhirnya, tanpa diminta Ahmad bercerita tuntas tentang alasannya meminta uang dua puluh ribu rupiah tadi. Sedetil-detilnya dengan penuh harapan aku akan mengabulkan permintaannya.
Setelah mempertimbangkan dengan matang dan penuh perhitungan, aku menjawab rengekannya. “Iya, Mama bisa memahaminya. Coba nanti Ahmad bilang sendiri sama Papa ya? Insya Allah Mama dukung deh. Tapi….”
“Tapi kenapa, Ma?”
“Ada syaratnya. Kalau Papa mengabulkannya, Ahmad harus hafal surat Al-Insyiroh. Oke?”
“………………………………………”
“…………”
#
Begitulah bahasa cinta yang ingin saya ajarkan kepada anak-anak saya kelak. Oh ya, jangan lupa doakan saya semoga bisa menjadi orang tua yang sabar, bijak, dan mendidik buah hati saya dengan cinta suatu hari nanti. Insya Allah.
#
Karang Kandri, 05 Mei 2006 02:10:17 p.m.
setta_81@yahoo.com