Dalam tulisan Muhammad Ali di Majalah Al-Furqon,
Edisi I, Tahun VI/Sya'ban 1427/2006, bahwa sistem perpajakan yang
diterapkan di negeri ini termasuk bentuk kedzaliman. Padahal jauh-jauh
hari, Islam telah mengharamkan segala bentuk kedzaliman. Bahkan Allah
menyatakan sendiri dalam hadits Qudsi:
"Wahai
hamba-Ku, Aku haramkan kedzaliman atas diri-Ku, dan Aku haramkan
kedzaliman buat dirimu dan janganlah kamu berbuat dzalim." (HR. Muslim)
Sedangkan
maraknya kedzaliman, terutama dalam masalah harta, menjadi tanda
dekatnya kiamat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
"Sungguh
akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari
mana mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram." (HR Bukhari dan an Nasai)
Definisi Pajak
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan beberapa nama, di antaranya:
- Al-Usyr (Lihat Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182).
- Al-Maks (Lihat Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At-Turats Al-Arabi).
- Adh-Dharibah, yang artinya adalah;
"Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak (Lihat
Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At-Turats Al-Arabi,
Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul
Authar 4/559 Cet Darul Kitab Al-Arabi).
- Dan suatu ketika bisa disebut
Al-Kharaj, akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan
yang berkaitan dengan tanah secara khusus. (Lihat Al-Mughni 4/186-203)
Sedangkan para pemungutnya disebut Shahibul Maks atau Al-Asysyar.
Adapun
menurut ahli bahasa, pajak adalah: "suatu pembayaran yang dilakukan
kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan
dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum.” (Dinukil
definisi pajak ini dari buku Nasehat Bijak Tuk Para Pemungut Pajak oleh
Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa)
Macam-Macam Pajak
Di antara macam pajak yang sering kita jumpai ialah:
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhadap tanah, lahan, dan bangunan yang dimiliki seseorang.
- Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- Pajak Barang dan Jasa
- Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
- Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
- Pajak Transit/Peron dan sebagainya.
Adakah Pajak Bumi/Kharaj Dalam Islam?
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni (4/186-121) menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam.
1) Tanah
yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti
yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang
memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai
mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah,
sehingga pajak yan berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap
mereka yang masih kafir saja.
2) Tanah
yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan,
sehingga penduduk asli yang kafir terusir dan tidak memiliki tanah
tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila
tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli
yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah
tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah
itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi; dan
ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah
tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak hanya diwajibkan atas orang-orang kafir saja.
Hukum Pajak dan Pemungutnya Menurut Islam
Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus.
Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil…." (QS. An-Nisaa': 29)
Dalam
ayat di atas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya
dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan
yang batil untuk memakan harta sesamanya.
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya." (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir 7662, dan dalam Irwa’al Ghalil 1761 dan 1459).
Adapun
dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman
pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka." (HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah)
Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti:
"Dari Abu Khair radliyallah 'anhu beliau berkata, "Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit radliyallah 'anhu, maka ia berkata: 'Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka'." (HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930)
Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah:
"(Karena telah jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini
dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami,
dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib” (Lihat
Silsilah Ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199 oleh Al-Albani)
Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45.
Imam
Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum
rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita
tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid radliyallah 'anhu
menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah
wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil
mencacinya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Pelan-pelan,
wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia
telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau
bertaubat (sepertinya) pasti diampuni."
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), kemudian beliau shallallahu
'alaihi wasallam menshalatinya, lalu dikuburkan." (HR Muslim 20/5 no.
1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221,
Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan
bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung
diantaranya ialah: "Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan
dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia
akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat
nanti." (Lihat : Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi)
"Bahwasanya
pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang
membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh
manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti." (Imam Nawawi)
Kesepakatan Ulama atas Haramnya Pajak
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah
mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: "Dan mereka (para ulama)
telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk
mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada
pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari
pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh
orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa)
oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat
besar, (hukumnya) haram dan fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari
kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat
perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para
ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir
yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim),
(yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau
setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal
tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari
setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari
itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai
dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja” (Lihat
Nasehat Bijak hal. 75-77 oleh Ibnu Saini, dan Al-washim wal Qawashim
hal. 49 oleh Dr Rabi Al-Madkhali).
Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda . . . dan
apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas
barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya
maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu)
termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan
fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama
zakat.
Beda Pajak Dengan Zakat
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Ma’ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum
jahiliyah." Kemudian beliau melanjutkan : "… hal ini sangat berbeda
dengan kewajiban zakat.." (Lihat Nasehat Bijak Tuk Pemungut Pajak hal.
88 oleh Ibnu Saini)
Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya.
1) Zakat
adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh
Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya.
Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh
penguasaa di suatu tempat.
2) Zakat
berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk
menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada
orang kafir [lihat Al-Mughni 4/200], karena orang kafir tidak akan
menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak
berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum
muslimin.
Pajak
berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum
muslimin. Tapi sekarang pajak diberlakukan atas kaum muslimin.
3) Yang dihapus oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang
biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak,
karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh
imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak.
(Asal perkataan ini diucapkan oleh Al-Jashshah dalam Ahkamul Qur’an
4/366).
4) Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang
asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan di
antara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang
dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya. (Lihat
Al-Amwal oleh Abu Ubaid Al-Qasim).
Pajak
merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa
dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan di antara kebiasaan
mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia
yang melalui/melewati daerah kekuasannya.
Persaksian Para Salafush Shalih Tentang Pajak
1) Ibnu Umar radliyallah 'anhuma pernah
ditanya apakah Umar bin Khaththab pernah menarik pajak dari kaum
muslimin. Beliau menjawab : "Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya."
(Syarh Ma’anil Atsar 2/31)
2) Umar
bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin
Arthah, di dalamnya ia berkata: "Hapuskan dari manusia (kaum muslimin)
Al-Fidyah, Al-Maidah, dan Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak
saja, melainkan termasuk dalam kata Al-Bukhs yang telah difirmankan oleh
Allah.
"…Dan
janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak mereka,
dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat
kerusakan." (QS. Hud: 85)
Kemudian
beliau melanjutkan : "Maka barangsiapa yang menyerahkan zakatnya
(kepada kita), terimalah ia, dan barangsiapa yang tidak menunaikannya,
maka cukuplah Allah yang akan membuat perhitungan dengannya." (Ahkam
Ahli Dzimmah 1/331)
"Hapuskan dari manusia (kaum muslimin) Al-Fidyah, Al-Maidah, dan Pajak. . ." (Isi surat Umar bin Abdul Aziz)
3) Imam Ahmad rahimahullah juga mengharamkan pungutan pajak dari kaum muslimin, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam. (Lihat Al-Muhalla bil-Atsar dengan tahqiq Dr Abdul Ghaffar Sulaiman Al-Bandari 4/281-282)
4) Imam Al-Jashshash rahimahullah berkata dalam kitabnya Ahkamul Qur’an (4/366): "Yang ditiadakan/dihapus oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
dari pungutan sepersepuluh adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum
jahiliyah. Adapun zakat, sesungguhnya ia bukanlah pajak. Zakat termasuk
bagian dari harta yang wajib (untuk dikeluarkan) diambil oleh
imam/pemimpin (dikembalikan untuk orang-orang yang berhak)."
5) Imam Al-Baghawi rahimahullah
berkata dalam kitabnya Syarh As-Sunnah (10/61): "Yang dimaksud dengan
sebutan Shahibul Maks, adalah mereka yang biasa memungut pajak dari para
pedagang yang berlalu di wilayah mereka dengan memberi nama Al-Usyr.
Adapun para petugas yang bertugas mengumpulkan shadaqah-shadaqah atau
yang bertugas memungut upeti dari para ahli dzimmah atau yang telah
mempunyai perjanjian (dengan pemerintah Islam), maka hal ini memang ada
dalam syari’at Islam selama mereka tidak melampaui batas dalam hal itu.
Apabila mereka melampaui batas maka mereka juga berdosa dan berbuat
zhalim. Wallahu a’lam."
6) Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Nailul Authar (4/279) mengatakan: "Kata Shahibul Maks adalah para pemungut pajak dari manusia tanpa haq."
7) Syaikh Ibnu Baz rahimahullah
dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan: "Adapun
kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar
pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)."
Hak Pemerintah atas Rakyatnya
Berkata Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam
kitabnya, Al-Muhalla (4/281) ; “Orang-orang kaya ditempatnya
masing-masing mempunyai kewajiban menolong orang-orang fakir dan miskin,
dan pemerintah pada saat itu berhak memaksa orang-orang kaya (untuk
menolong fakir-miskin) apabila tidak ditegakkan/dibayar zakat kepada
fakir-miskin.." Beliau berdalil dengan firman Allah:
"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan …." (QS. Al-Israa: 26)
Dalam
ayat di atas dan nash-nash semisalnya, seperti QS. An-Nisa ; 36, QS.
Muhammad: 42-44 ; dan hadits yang menunjukkan bahwa: "Siapa yang tidak
mengasihi orang lain maka dia tidak dikasihi oleh Allah." (HR Muslim :
66), semuanya menunjukkan bahwa orang-orang fakir dan miskin mempunyai
hak yang harus ditunaikan oleh orang-orang kaya. Dan barangsiapa (di
antara orang kaya) melihat ada orang yang sedang kelaparan kemudian
tidak menolongnya, maka dia tidak akan dikasihi oleh Allah: (Hadits no.
28 dalam kitab Al-Arbaun An-Nawawi diriwayatkan oleh Abu Dawud no 2676,
dan Ahmad 4/126)
Penutup
Kami
yakin, ketika menyampaikan tulisan ini ada di antara kaum muslimin yang
terheran-heran ketika dikatakan pajak adalah haram dan sebuah kezhaliman
nyata. Mereka mengatakan mustahil suatu negara akan berjalan tanpa
pajak.
Maka hal ini dapat kita jawab:
Bahwa Allah telah menjanjikan bagi penduduk negeri yang mau beriman dan
bertaqwa (yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya),
mereka akan dijamin oleh Allah mendapatkan kebaikan hidup mereka di
dunia, lebih-lebih di akhirat kelak, sebagaimana Allah berfirman.
"Seandainya
penduduk suatu negeri mau beriman dan beramal shalih, niscaya Kami
limpahkan kepada merka berkah (kebaikan yang melimpah) baik dari langit
atau dari bumi, tetapi mereka mendustakan (tidak mau beriman dan beramal
shalih), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al-A’raf : 96)
Ketergantungan
kita kepada diterapkannya pajak, merupakan salah satu akibat dari
pelanggaran ayat di atas, sehingga kita disiksa dengan pajak itu
sendiri. Salah satu bukti kita melanggar ayat di atas adalah betapa
banyak di kalangan kita yang tidak membayar zakatnya terutama zakat mal.
Ini adalah sebuah pelanggaran. Belum terhitung pelanggaran-pelanggaran
lain, baik yang nampak atau yang samar.
Kalau
manusia mau beriman dan beramal shalih dengan menjalankan semua perintah
(di antaranya membayar zakat sebagaimana mestinya) dan menjauhi segala
larangan-Nya (di antaranya menanggalkan beban pajak atas kaum muslimin),
niscaya Allah akan berikan janji-Nya yaitu keberkahan yang turun dari
langit dan dari bumi.
Bukankah
kita menyaksikan beberapa negeri yang kondisi alamnya kering lagi
tandus, tetapi tatkala mereka mengindahkan sebagian besar perintah
Allah, maka mereka mendapatkan apa yang dijanjikan Allah berupa
berkah/kebaikan yang melimpah dari langit dan bumi. Mereka dapat
merasakan semua kenikmatan dunia. Sebaliknya, betapa banyak negeri yang
kondisi alamnya sangat strategis untuk bercocok tanam dan sangat subur,
tetapi tatkala penduduknya ingkar kepada Allah dan tidak mengindahkan
sebagian besar perintah-Nya, maka Allah hukum mereka dengan hilangnya
berkah dari langit dan bumi mereka. Kita melihat hujan sering turun,
tanah mereka subur nan hijau, tetapi mereka tidk pernah merasakan berkah
yang mereka harapkan. Allahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]
(Disarikan dari tulisan Muhammad Ali dalam Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya'ban 1427/2006).